Aroma Korupsi Tambang Galian C Terendus

TERNATE – Ada aroma tak sedap menyeruak ditengah-tengah maraknya issue tentang tambang galian C di Ternate.  Menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Malut, Ahmad Rusyadi, apabila pemanfaatan galian C tidak didasarkan pada izin yang tepat (izin pertambangan mineral bukan logam dan batuan), berarti ada dugaan korupsi di dalamnya.  Bagi Ahmad, aktivitas tambang galian C seperti yang dilakukan di Ternate saat ini, mesti memiliki izin tersebut. Tidak boleh hanya mengurus izin pemerataan lahan, sementara di lapangan ada material yang dikomersialkan.

Karena itu Walhi mendesak pemerintah setempat untuk bergerak lekas dan tegas, menyelesaikan kasus intu. Kata dia, apabila populasi penduduk terus bertambah. Maka pemanfaatan galian C semakin besar. Karena itu harus ada langkah serius untuk menindak pelaku usaha pemerataan lahan yang menyalahgunakan izin tersebut. “Misalnya ada lokasi atau titik yang tidak memiliki izin atau illegal harus ditindak tegas, dicabut dan segera dihentikan,” tegasnya. Ia menjelaskan, dampak buruk yang akan dirasakan warga sekitar area pertambangan, yakni ketika musim penghujan tiba, curah hujan tinggi, maka air yang jatuh tidak bisa meresap ke dalam tanah, maka akan mencari jalan ke dataran yang lebih rendah. Selain itu, karena terlalu dekat jarak antara lokasi penambang dengan area pemukiman, maka dampak kesehatan yang akan dirasakan warga adalah gangguan saluran pernapasan (Ispa).

“Karena ada aktivitas pengangkutan material di lokasi penambangan ke lokasi yang dibutuhkan dari area penambangan itu,” ujarnya. Tak hanya itu, Walhi bahkan secara terbuka menegaskan, seluruh tambang galian C di Ternate tidak layak. Alasanya karena luas pulau Ternate yang terlalu kecil, kemudian kontur tanahnya yang berbukit dan rawan bencana gempa. “Tapi juga tidak bisa pungkiri, kalau kota ini tingkat populasinya akan terus bertambah, dan ketika tingkat populasi terus bertambah, pasti pemanfaatan galian C akan cukup banyak, itu kita tidak bisa pungkiri, tinggal pemerintah lewat instansi terkait bisa menindak tegas, misalnya ada lokasi atau titik yang tidak memiliki izin atau illegal harus ditindak tegas, dicabut dan segera dihentikan,” tegasnya.

Ia juga mengimbau kepada pemilik lokasi tambang agar memahami dampak usaha yang dijalankan. Termasuk mematuhi segala ketentuan tentang pemulihan kembali area tambang yang dieksplorasi tersebut.

“Misalnya direklamasi kembali tapikan tidak serta merta dia langsung kembali seperti fungsinya, paling tidak dia bisa mengurangi dampak. Bisa dilakukan penanaman kembali pohon atau reklamasi kembali di area tersebut, atau ada alternative lain yang bisa untuk mengurangi dampaknya,” ucapnya.  Sementara Ketua Ikatan Ahli Geologi (IAGI) Malut, Abdul Kadir D. Arif saat dihubungi menguraikan dampak dari aktivitas galian C tersebut.

Baca juga:  Dinkes Malut Belum Terima Hasil Tes 195 WNA China

Menurut dia, ketika pengawasan terhadap aktivitas penambang lemah, maka secara geologi, akan ada potensi bencana yang cukup besar. Karena ada pemanfaatan atau perubahan fungsi lahan. “Yang dulunya mungkin daerah-daerah tersebut adalah bagian dari pada wilayah yang ikut mensuport beberapa daerah menjadi terlindung dari longsor, dengan adanya penggalian berarti kan ada pemotongan bukit, ada kapling yang mereka biking, otomatis lereng-lereng yang tadinya tidak curam, bisa berubah menjadi curam, yang sebelumnya sudah curam, akan menjadi sangat curam, kita bisa melihat di wilayah-wilayah galian C hari ini. Jadi efek secara bencana, longsor pasti, karena materialnya material lepas yang ada di galian C,” katanya.

Bahkan hingga sore kemarin kata dia, belum ada zona wilayah konservasi air tanah yang ditemukan di Kota Ternate. Secara geologi pasti  dikhawatir, jangan-jangan penambangan sudah merambah pada wilayah air tanah. Kalaupun itu sudah dikapling oleh penambang galian C, maka potensi bencana akan semakin melebar. Memang kebutuhan kota membangun saat ini tidak bisa dibendung, karena butuh material. Tetapi harus diselaraskan, harus ada harmonisasi dengan fungsi pengawasan oleh peraturan yang disepakati daerah. “Jadi memang simalakama, saya pikir pemerintah hari ini, dia satu sisi membangun, tapi terbentur pada sisi-sisi yang lain yang memang harus saling
menguatkan,” ungkapnya. Mestinya seluruh pemilik tambang di Ternate dilengkapi dengan izin berupa RKL/UPL (dokumen lingkungan), karena jika izin itu dimiliki, maka tidak semua zona harus diambil. Meskipun ada deposito yang begitu besar di dalam lokasi galian tersebut.

“Saya berharap dalam waktu dekat dapat informasi wilayah
penyangga dan wilayah konservasi kota, ketakutannya hanya satu, kita di sini
Pulau Kecil dengan aktivitas gunung api yang intens, dengan aktivitas kegempaan juga yang sangat intens, terus kondisi hidrometeorologi kita juga punya curah hujan yang luar biasa, punya curah hujan yang tetap dan itu bisa intens, artinya jangan sampai longsor yang terjadi di Tabona lalu, terulang lagi,” terangnya. Menurut dia, bencana longsor yang terjadi di Tabona juga akibat dari aktivitas galian C. Lokasi longsor dulu juga bekas galian. “Setelah digali dan ditinggalkan, dijadikan pemukiman oleh warga, ini berarti pengawasanya agak lemah. rentan kendali mengawas ada yang hilang. Karena itu, supaya di kelurahan Kalumata puncak tidak terjadi hal yang sama, maka ia mendesak pemerintah untuk segera membuat batasan.

Baca juga:  Buronan Politik Pilkada Halsel Ditangkap di Jakarta

“Syarat utama harus sepakati dulu wilayah konservasi kelerengan, jadi lereng mana yang betul-betul jangan diganggu, itu akan menjadi daerah penyangga, dan wilayah mana yang bisa ditambang, dengan perhitungan kajian teknis secara mendalam terkait geologi, jangan semua lereng yang isinya
pasir dan batu dihantam karena kebutuhan, jadi harus punya peta zonasi,” ungkapnya. Apalagi jarak antara puncak Gamalama dengan pesisir cukup dekat, hanya 8,5 km,  hal Itu sangat memungkinkan akan terjadi bencana. Selain itu, menurut Abdul Kadir, dampak lain yang akan dirasakan warga Kota Ternate adalah kesulitan mendapatkan air bersih. Ini karena wilayah penyangga konservasi sudah tidak ada.

“Jangan harap kita bisa bicara potensi air tanahnya, salah satu cara kita bisa meremajakan air tanah berarti konservasi, soal yang sekarang dibuat misalnya sumur resapan, biopol. Itukan langkah yang diambil ketika sudah terjadi, tapi yang harus direncakan adalah kedepan sebelum terjadi, jangan sampai sudah
terjadi baru dilakukan, kecenderungan itu mari sama-sama kita minimalisir, dan
harus dan kota ini punya peta konservasi air tanah,” tandasnya.

Sementara anggota DPRD Kota Ternate, Makmur Gamgulu yang sebelumnya dikabarkan menjadi pemilik salah satu tambang galian C di Kelurahan Kalumata puncak ketika dihubungi justru membantah. Kata dia, lahan tersebut sudah dijual kepada Renny Laos sebelum program reklamasi dilakukan. Dikatakan, lahan yang dijualnya seluas 4 hektare. “Satu dokumen yang punya saya itu 10.000 meter persegi atau 4 hektar, jadi dua lahan itu dua hektar saja,” tuturnya.

Ia mengaku, saat bekerja sebagai pengusaha tanah. Pemerintah Kota Ternate tidak pernah mengarahkan kepada semua pengusaha galian untuk mengurus Izin Usaha Pertambangan (IUP), karena luasan lahan usaha pertambangan yang dimiliki tidak dimungkinkan untuk mengurus IUP, lalu pihaknya disarankan untuk mengurus dokumen UPL/UKL. “Kalau urus IUP itu torang harus urus Amdal, sementara luasan 1 hektar itu apakah tong harus pakai Amdal, ? masalahnya kan ada di situ,” katanya. Setelah menjelaskan panjang lebar, Makmur Gamgulu mengaku, lahan yang dijualnya itu sudah selama seminggu tidak lagi beroperasi. Ia juga menepis bahwa alat berat yang meraung di lokasi galian C di Kelurahan Kalumata puncak bukan miliknya. Tetapi milik pengusaha lain, yakni Hamka.

Baca juga:  3 Pejabat Pemkot Ternate Positif Covid-19

“Ada alat yang bergerak di sana itu miliknya Pak Hamka, itu tetangga di lokasi saya, tapi di saya sudah tidak ada alat, bahkan satu dua hari saya sudah bikin laporan, selesai pekerjaan di DLH, karena di saya sudah tidak dieksplorasi selama satu minggu lebih, tapi kita berkewajiban membuat laporan, sudah berhenti,” katanya. Kata dia, selain milik Hamka, ada juga lokasi pengusaha lain yang berdekatan dengan lokasi miliknya, mereka diantaranya Hasan Bay (bakal calon wali kota Ternate), Haji Semi dan Malik. “Jadi di saya sudah tidak ada aktivitas itu lagi,” katanya.

Ia menyarankan kepada wartawan koran ini untuk mengecek langsung surat jual beli lahan pada Notaris Lenny, di kompleks Pelabuhan Fery Bastiong. “Hanya, karena ibu Renny mau saya harus mengurus dokumen dengan menggunakan nama saya, saya lalu waktu itu urus dokumen dengan menggunakan nama saya, bertanggungjawab-kan saya, karena dokumen atas nama saya. Tapi
pekerjaan itu sebenarnya saya tidak tahu menahu lagi. Memang beberapa kali saya ke sana, ada beberapa pekerjaan yang saya nilai bertentangan dengan dokumen sehingga ini tanggung jawab saya, maka saya harus mengarahkan bahwa ini harus dibikin chack dum, teras sering, itu saya arahkan,” tuturnya.

Mengenai respon Komisi III yang berniat membentuk pansus, Makmur mendukung halitu, tetapi ia menyarankan agar Komisi III dapat menahan diri sambil mengkaji lebih dalam lagi, mengundang pakar lingkungan membuat kajian secara konfprefensif. Setelah dikaji dan memenuhi syarat untuk dibentuk Pansus, maka harus dibentuk. “Tapi jangan begitu kita dengar ada masyarakat menggugat bahwa ada rumah yang retak dan pansus dibentuk, terlalu dini,” tegasnya. Terpisah, akademisi Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) Ternate, Hendra Kasim menjelaskan, penyalahgunaan izin galian C hingga mendapat sanksi administrasi dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Ternate ketentuanya wajib dikenakan pidana. Hendra menjelaskan, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara dalam pasal 158 merumuskan setiap orang yang melakukan usaha pertambangan tanpa IUP (Izin Usaha Pertambangan), IPR (Izin Pertambangan Rakyat) atau IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) dikenai pidana. Selain itu, pada pasal 37, pasal 40 ayat (3), pasal 48, pasal 67 ayat (1), pasal 74 ayat (1 dan 5) menjelaskan, pelanggaran izin tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun, termasuk denda senilai 10 Miliyar. Artinya, sangat jelas dan tidak ada tafsiran lain. Karena itu, pihak yang harus bertanggungjawab adalah pengusaha atau pemilik lokasi pemerataan lahan, karena melakukan pertambangan tanpa IUP, sehingga pemerintah tidak boleh membiarkan hal itu terjadi. (nas)

Berikan Komentar pada "Aroma Korupsi Tambang Galian C Terendus"

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


error: Content is protected !!