Tak Ada Tempat Ujaran Penghinaan dan Rasisme di Oba

Junaidi Fabanyo S.Sos Camat Oba Tengah

Junaidi Fabanyo S.Sos Camat Oba Tengah.

Beberapa waktu lalu, publik kita dihebohkan dengan pernyataan berbau penghinaan dan rasisme dari salah satu bakal calon Walikota Tidore Kepulauan 2024 dalam suatu acara silaturahmi dengan warga di kelurahan Mareku.

Pernyataan tersebut memantik kemarahan warga 4 kecamatan di Oba juga warga Sanger yang disebutkan dalam orasi politik tersebut.

Sebagai pimpinan kecamatan di Oba, khususnya Oba tengah, saya menangkap ucapan itu sangat berbahaya, bisa memecah belah warga saya di Oba dan lebih parahnya lagi bisa mengoyak rajutan kebangsaan yang telah terbina selama ini.

Sedang salah satu fungsi kami sebagai ASN sebagaimana termaktub dalam UU nomor 5 tahun 2014, selain sebagai pelaksana kebijakan dan pelayanan publik, ASN juga berfungsi sebagai perekat dan pemersatu bangsa. 

Sudah merupakan sebuah keharusan sebagai kepala wilayah kecamatan Oba Tengah dan mewakili 3 rekan camat di daratan Oba, kami punya hak dan kewajiban untuk melindungi masyarakat kami sebagai WNI, jika mereka tersinggung kami pasti juga ikut tersinggung, ketika mereka sakit kami juga akan merasakan sakit yang sama. 

Pemimpin dan yang di pimpinan itu laksana tubuh, saling keterkaitan dan tak terpisahkan.

Sebagai seorang calon pemimpin kiranya penting sekali menguasai public speaking dengan baik, ilmu paling dasar bagi seseorang yang hendak menjadi pemimpin, jika tidak akan ada kegaduhan, kekacauan hingga menimbulkan konflik dalam masyarakat akibat buruknya sebuah komunikasi publik.

Membangun stereotip (pelabelan) dengan maksud politik dalam suatu wilayah administrasi pemerintahan dengan maksud mengkotak-kotakan masyarakat adalah semacam upaya jahat dan mengancam keberagaman Indonesia. 

Baca juga:  Merajut Kebudayaan dengan Ekofeminisme

Kita sudah cukup lama hidup dengan pelabelan hina dan rasis, 3 abad lebih pelabelan dan rasisme itu hidup dan tumbuh subur di masa kolonialisme. Inlander jadi kata yang sungguh buruk makna dimasa penjajahan, karena itu apapun bentuk rasisme telah menjadi musuh bangsa dan wajib dilawan. 

Warisan kolonial mestinya sudah hilang dalam kepala manusia-manusia merdeka sejak proklamasi 17 Agustus 1945. Saat Presiden Soekarno dalam sidang BPUPKI, 1 juni 1945 kembali mengaungkan pemikiran tentang nasionalisme modern untuk masa depan bangsa Indonesia. 

Sejak saat itu, segala perbedaan baik suku, agama, ras dan sebagainya telah lebur dalam Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetap satu jua.

Sedikit bisa saya pahami, orang-orang yang masih berpikir rasis karena kurangnya literasi, tak tuntas membaca dan memahami sejarah kebangsaan kita. Sejak munculnya ucapan penuh hasutan dan sentimen juga mengucilkan warga Oba, “Kalau Mau kaco (kacau) mau keto (mabuk) dan lain-lain di Oba.” Seolah-olah OBA itu tempat tak baik, tempat berkelahi, sarang orang-orang pemabuk, kami seperti orang-orang rendahan yang tak memiliki akhlak. Ucapan itu kemudian berlanjut, “Kalau mau kotori, sana dengan sanger sanger di Oba sana.” Ini sungguh pernyataan yang cukup berani dan melukai hati, merendahkan martabat dan harga diri.

Tapi warga Oba apalagi suku Sanger sangat berbesar hati, pernyataan yang menyayat kalbu tersebut sudah dimaafkan. 

Baca juga:  SEKSINYA BLT-DANA DESA DI TENGAH PANDEMI COVID-19

Si bakal calon sudah meminta maaf atas ucapannya, tapi permintaan maaf itu bukan sebuah pengakuan tapi lebih pada sikap penegasan yang kembali memperlihatkan keangkuhannya, ia menganggap pernyataan hanya sebagai candaan, permintaan maaf tersebut malah membuat luka di hati masyarakat Oba yang kedua kalinya. 

Bagaimana bisa seorang yang mengklaim diri tokoh nasional, setiap candaannya merendahkan seperti itu, sebuah contoh buruk bagi siapa saja.

Permintaan maaf itu diterima, tapi tidak dilupakan, sungguh manusiawi, namun proses hukum mestinya tetap jalan untuk menegakkan keadilan bersama. Proses hukum yang ditempuh warga Oba dan suku Sanger tersebut bukan semata-mata untuk memberi penghakiman kepadanya, tetapi sebagai sebuah upaya untuk menjaga rajutan kebangsaan agar tak koyak juga sebuah upaya mempertegas bahwa warisan kolonial, tribalisme, xenofobia, keangkuhan dan prasangka serta permusuhan dan perasaan negatif terhadap suatu kelompok etnis atau bangsa lain tak boleh hidup lagi dalam kepala manusia manusia merdeka.

Gerakan aksi yang dilakukan masyarakat Oba dari 4 kecamatan kemarin adalah sebuah luapan kemarahan juga suport kepada pihak penegak hukum agar melihat persoalan ini sebagai persoalan serius. Jika kemudian ada pihak-pihak menggiring aksi demonstrasi anti rasisme warga Oba sebagai sebuah aksi yang penuh aroma politik, karena ada beberapa ASN yang berada di lokasi aksi, sesungguhnya itu asumsi yang cukup prematur juga keliru.

Baca juga:  Alkhairaat dan Tantangan Jaman

Karena setiap warga negara memiliki kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum dan dijamin UUD 1945, sebagai perwujudan prinsip-prinsip demokrasi dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kecurigaan bahwa aksi tersebut ditunggangi aktor politik adalah sebuah kesesatan berpikir. 

Saya melihat ini sebagai upaya untuk mengaburkan substansi persoalan, karena sebagaimana sudah saya jelaskan, kami sebagai ASN, apalagi merupakan pimpinan wilayah kecamatan yang warganya merasa dihina dan direndahkan oleh orang lain (karena yang bersangkutan mungkin belum ber KTP Tidore Kepulauan), berkewajiban memberikan pelayanan kepada warga saya. Tugas seorang pemimpin harus seperti itu, ada untuk warganya, apalagi mereka sedang memperjuangkan kebenaran, sudah menjadi tanggung kami pimpinan kecamatan untuk memberikan dukungan baik materil maupun moril.

Sebagai ASN yang juga pimpinan kecamatan di Oba, tugas kami sebagaimana termaktub dalam UU nomor 5 tahun 2014, selain sebagai pelaksana kebijakan dan pelayanan publik ASN juga berfungsi sebagai perekat dan pemersatu bangsa. 

Karena itu, siapa saja yang datang dengan narasi-narasi yang berpotensi memecah-belah masyarakat dengan motif kepentingan apapun tidak dibenarkan dan akan kami lawan. 

Menjaga kerukunan dalam masyarakat yang heterogen bukan perkara mudah, pekerjaan terberat para pemimpin. Karena sekali kerukunan itu rusak, butuh waktu yang cukup panjang dan melelahkan untuk memperbaiki kembali, dan kerukunan adalah esensi paling dasar dari pembangunan nasional. Karena itu, sekali lagi tak ada tempat bagi ujaran penghinaan dan rasisme di Oba.(*)

error: Content is protected !!