Ahmad Yani Abdurrahman
Staf Pengajar Unkhair Ternate
Masalah TPP tenaga kesehatan (Nakes) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Chasan Boesorie rupanya belum berakhir dan terus menyita perhatian publik setelah mereka kembali melakukan unjuk rasa dengan memboikot pelayanan UGD beberapa hari lalu. Unjuk rasa dipicu karena Nakes menolak tawaran Pemprov Malut untuk membayar TPP hanya 3 bulan dan sisanya selama 12 akan dibayar melalui APBD perubahan tahun 2023. Meskipun terkesan kontraversi, ada yang tidak sependapat dengan cara Nakes menuntut haknya karena dianggap mengganggu pelayanan publik, namun bagi Nakes cara ini merupakan jalan terakhir memperjuangkan haknya, setelah gagal melalui jalur dialog dan mediasi.
Kondisi ini menimbulkan rasa prihatin dan tanda tanya besar ditengah Pemprov Maluku Utara memperoleh penghargaan dari Ombudsman berkaitan kepatuhan standar pelayanan publik, sementara hak hak motor penggerak pelayanan publik terabaikan. Dalam perspektif manajemen sumber daya manusia, TPP Nakes merupakan bagian dari kompensasi yang diberikan Pemerintah atau manajemen RSUD Chasan Boesorie kepada Nakes yang punya sandaran regulasi dan masih tertunda pembayarannya bahkan sudah berlangsung dalam dua tahun anggaran, sangat miris !
Mamahami TPP
Pakar motivasi McClellands dan Herzberg berpandangan bahwa motivasi utama seseorang bekerja di organisasi atau perusahaan termasuk organisasi pemerintah karena mengharapkan adanya imbalan yang dapat digunakan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemberian imbalan ini kemudian dikenal dengan istilah kompensasi yang mencakup gaji, upah, insentif, bonus dan sejenisnya. Dengan pemberian imbalan di luar gaji seperti TPP, atau insentif non finansial lain akan memacu kinerja dan produktivitas kerja pegawai.
Di kalangan Aparatur Sipil Negara pemberian kompensasi selain gaji pokok juga ada tambahan penghasilan diantaranya seperti tunjangan istri, anak, tunjangan jabatan dan sebagainya. Hal yang sama juga berlaku pada pejabat negara, misalnya kepala daerah atau anggota DPR. Selain memperoleh gaji pokok, pejabat negara juga memperoleh tambahan penghasilan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah, termasuk kedudukan keuangan anggota DPR dan DPRD.
Semangat reformasi birokrasi dengan tujuan mewujudkan tata kelola pemerintahan yang akuntabel, berdaya saing dengan SDM berintegritas dan produktifit serta mampu menjadi pelayan masyarakat demi menciptakan kepercayaan publik. Pemerintah kemudian berkomitmen terus memperbaiki sistem pemberian kompensasi Aparatur Sipil Negara. Dari komitmen itu lahirlah beragam regulasi yang mengatur pemberian kompensasi kepada ASN. Kita mengenal istilah TPP, tunjangan kinerja, renumerasi, insentif, tunjangan daerah terpencil, uang lauk pauk dan sejenisnya. Pemerintah Daerah pun tidak mau ketinggalan memacu produktifitas dan kinerja ASN nya, sehingga secara bertahap memberikan tambahan penghasilan kepada aparatnya yang kita kenal saat ini dengan sebutan TPP.
Pemberian tambahan penghasilan oleh Pemerintah Daerah sudah jelas memiliki sandaran regulasi yaitu Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Daerah tentang APBD yang merupakan produk bersama Pemda dan DPRD. Pemerintah Daerah kemudian mengeksekusinya dengan menerbitkan Peraturan Kepala Daerah tentang Tata Cara Pemberian TPP bagi ASN.
Substansi dari pemberiaan TPP merupakan salah satu implementasi reformasi birokrasi yang bertujuan memperbaiki kualitas pelayanan publik dengan meningkatkan kesejahteraan ASN. Dalam pelaksanaanya pemberiaan TPP harus dimaknai sebagai penghasilan yang diberikan secara bulanan kepada ASN diluar gaji, tunjangan jabatan strukrutal maupun fungsional berdasarkan bobot jabatan, penilaian kinerja dan kedisiplinan ASN. Artinya sebagai keputusan politik TPP dalam sistem penganggaran kedudukan tidak berbeda dengan gaji. Singkatnya anggaran TPP harus dirancang, disediakan dan dibayarkan tepat waktu sebagai bals jasa pada ASN atas kontribusinya terhadap organisasi.
Lalu kemudian terjadi tunggakan pembayaran satu dua bulan mungkin masih bisa maklumi karena kondisi APBD, tetapi dalam konteks RSUD CB dengan status BLUD yang menunggak 15 bulan TPP tentunya dari aspek manajerial ada sesuatu yang salah. Kondisi ini menutut pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan RSUD Chasan Boesorie duduk bersama mencari solusi bukan menebar ancaman seperti yang terjadi saat ini.
Solusi
Kasus tunggakan TPP Nakes sebenarnya masalah sederhana dan sering terjadi di daerah lain dalam tata kelola keuangan daerah. Kasus ini juga menjadi ujian mengukur kemampuan leadership seorang AGK sebagai Gubernur untuk mengatasinya. Publik akan menilai apakah Gubernur memahami perannya mengendalikan roda pemerintahan dengan sejumlah OPD ataukah sebaliknya.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan ketentuan perundangan yang berlaku baik Undang Undang Pemerintahan Daerah, Keuangan Daerah, Kepegawaian Daerah termasuk Aset Daerah semuanya menempatkan Gubernur sebagai “penguasa”. Dengan kedudukan sebagai “penguasa”, Gubernur diberi ruang mengambil keputusan, kebijakan termasuk diskresi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayan masyarakat termasuk hal yang bersifat urgent.
Kaitannya dengan TPP Nakes, meskipin RSUD CB sebagai BLUD dengan fleksibilitas pengelolaan keuangan, Gubernur masih memiliki ruang mengintervensi demi memenuhi hak nakes sekaligus menjaga kelangsungan pelayanan publik. Dalam kondisi urgent dan mendesak Gubernur bisa mengambil solusi melalui mekanisme dan prosedur pergeseran anggaran, mengajukan usulan anggaran mendahului perubahan APBD bahkan paling ekstrem Gubernur dapat memangkas anggaran dan melakukan efisiensi seperti mengurangi biaya perjalanan dinas, makan minum, biaya rapat, termasuk belanja modal yang melekat pada setiap OPD bila perlu Biaya Gubernur Wagub dan Anggota DPRD. Dengan cara ini hak hak Nakes yang terabaikan selama 15 bulan pasti teratasi dan mereka tidak disudutkan dengan pernyataan emosional Ketua DPRD Malut yang menuding Nakes dengan stigma komunis.
Ironis, Gubernur memiliki peran dan sejumlah wewenang besar tapi tak mampu mengatasi masalah kecil. Bahkan soal wewenang diluar urusan (politik luar negeri, hankam, moneter, agama dan peradilan) mulai tanjung Sopi sampai Lifmatola AGK bisa dianalogikan “Jokowi” nya Maluku Utara. Dari Pandemi Covid 19 kita bisa amati bagaimana Presiden Joko Widodo menggunakan kekuasaan pengelolan keuangan negara menyelamatkan rakyatnya dari ancaman wabah. Rasanya tak berlebihan dari Kasus TPP Nakes AGK mestinya belajar menyelesaikan masalah mereka yang berjuang dan berjibaku menyelamatkan nyawa rakyatnya melawan wabah Covid bukan melupakan jasanya apalagi menebar ancaman pemecatan.