Catatan  dari Moti

A. Malik Ibrahim

Sekretaris DPW Nasdem Maluku Utara

PERJALANAN dengan speed ke pulau Moti begitu cepat. Kadang laut berombak, kadang bersahabat. Kita dibuat elok reruntuhan banteng Nassau dan angin semilir pesisir. Pantai dan laut tak hanya memiliki pesona dan sugesti kekuatan alam, tapi juga menjadi salah satu andalan kehidupan masyarakat.

Bagi orang yang pertama kali menginjakkan kaki di pulau Moti, tentu berbeda dengan sepuluh tahun silam. Walau pulau Moti hari  ini adalah sebuah kota kecamatan, ia masih  dalam kategori  wilayah terluar. 

“Jam sepuluh tepat, speed yang kami tumpangi merapat di jembatan Motikota. Suasana masih  lengang. Terlihat hanya beberapa Ibu-Ibu yang menjual keripik amo, pisang dan aqua, di sekitar pasar yang sepi”. Pasar pantai itu perlahan mulai redup dan tak mampu bertahan di tengah pusaran perubahan ekonomi.

Lebih dari sekedar perubahan fisik, kita masih menemukan jalan yang kondisinya rusak.  Sepanjang  jalan Motikota panas dan gerah, karena tak ada pohon penghijauan. Meski di atas gunung mata kita disegarkan oleh rimbunnya pepohonan,  hutan  dan kebun masyarakat yang menjadi gambaran indahnya Moti.  

Luas pulau Moti sekitar 24, 6 kilometer persegi. Jumlah penduduk 4.811 jiwa.  Penghasilan utama penduduk adalah petani dan nelayan. “Sebagai pulau penghasil, cengkih, pala dan komoditi perkebunan lainnya, rasanya orang Moti sering menghadapi kendala. Kami belum dapat mengembangkan suatu komoditas yang jadi produk dengan nilai jual tinggi, karena belum ada perhatian Pemkot Ternate”, ujar salah satu warga masyarakat Tadenas.  Apalagi sektor pariwisata, sepertinya tenggelam  dari rencana pemerintah kota.

Sebagai pulau terluar, idealnya Pemkot Ternate lebih memperhatikan hal ini, sebagai wujud penjabaran keadilan distributif. Bukan  sekedar jargon politik pembangunan  percepatan tiga kecamatan Batangdua, Hiri dan Moti. 

Salah satu kendala yang dihadapi kawasan pulau ini  adalah masih panjangnya mata rantai  penjualan hasil perkebunan petani hingga sampai di pasar. Sebagai contoh, komoditas   cengkih dan pala yang dihasilkan petani baru sampai ke eksportir setelah melalui pedagang pengimpul, sehingga harga yang cukup belum dapat dirasakan secara maksimal oleh petani.

***

Sejarah Moti adalah sejarah penanda peradaban. Dalam konteks pembanguan daerah,  spirit  Moti Verbond adalah kesadaran tentang kesejahteran dan kesetaraan.  Pulau Moti  adalah melting pot, tempat berbagai perbedaan etnis  dipersatukan. Heroisme kita  adalah pemerataan pembangunan;  jangan lagi,  ada daerah yang mengalami ketimpangan dan tertinggal.

Reruntuhan banteng Nassau adalah penanda transformasi kehidupan. Dia menjadi titik “O” perpindahan manusia dalam konsep bermukim. Perpindahan penduduk yang terus-menerus menunjukkan terjadinya ketimpagan spasial. Ini disebabkan oleh ketidakmampuan pengambil kebijakan dalam mendistribusikan pusat pertumbuhan.

Urbanisasi tidak terbendung mengakibatkan daya dukung ekologi kawasan penyangga makin terbatas. Kalau pengembangan kota seperti itu diteruskan, akhirnya daerah-daerah yang ditetapkan sebagai penyangga kehilangan orientasi. Pengembangan kota semestinya menjalin keterkaitan dengan desa/kelurahan untuk mendukung kota. Dan kita mengalami apa yang disebut, sebagai kegagalan regenerasi kota.

Tengoklah sistem pemukiman, begitu padat dan berdempet. Tak ada jalan lingkungan selain lorong yang berimpitan dengan rumah penduduk. Inilah potret kemiskinan wilayah, yaitu kemiskinan struktural yang terkait erat dengan sumber daya manusia, adanya faktor penghambat ekonomi, kekurangan infrastruktur, pemukiman dan pelayanan publik.

Secara spasial perubahan konsep bermukim dari pemukiman yang berbasis agraris menjadi permukiman yang berbasis transportasi, tidak berdampak apa-apa. Tenaga kerja; petani, nelayan, dan pedagang mengalami zero growth, bahkan minus  growth. Tak ada sektor usaha unggulan yang dapat  membuat orang bertahan.

***

Bagaimana pun Moti adalah pulau dengan potensi agraris yang beragam dan eksotis.  Pendekatan kewilayahan yang berbasis potensi lokal, setidaknya dapat membantu terciptanya pertumbuhan baru tanpa mengabaikan warga masyarakat. Gagasan wilayah penyangga yang menghidupi  Ternate sebagai kota induk selayaknya dapat dikaji.

Surutnya pasar pelabuhan Moti hanyalah contoh kecil dari banyak cerita sedih. Kerap kita membangun satu  infrastruktur yang tak memiliki konekting dengan basis sosial ekonomi setempat. Bahwa setiap wilayah dengan kekhasan dan dikembangkan seturut dengan potensi lokal tentu bukan hal yang sulit.

Gambaran wilayah seperti ini selalu  “disulitkan” oleh ketiadaan infrastruktur pendukung usaha produktif. Pemkot Ternate harus bijak memberi solusi  lewat program yang tepat sasaran, sehingga apa yang direncakan benar-benar berdampak pada kesejahteraan masyarakat.

Usaha produktif yang dimaksud adalah memberi  perhatian serius pada pemberdayaan yang dimiliki dan telah dilakukan masyarakat. Usaha itu antara lain peternakan, perikanan dan industri rumah tangga seperti keripik sukun, kenari dan pisang. Industri rumahan ini potensial untuk dikembangkan. Bimbingan teknologi dan pemasaran diperlukan bagi masyarakat agar bisa mengembangkan usahanya dengan baik.

Bagi saya laporan perjalanan “Moti Basuara 1322” adalah sebuah rekaman yang berusaha bertutur apa adanya. Masalah Moti begitu beragam dan potretnya terang untuk diambil langkah perbaikan oleh penentu kebijakan. Maju dan tertinggal, sedih dan gembira, harapan dan putus asa adalah dua titik dikotomis yang saling menunggu. Kita adalah bagian dari persoalan semua itu.

Nasib Moti, Hiri dan Batang Dua Kota Ternate, Maluku Utara  adalah nasib kita bersama sebagai suatu bangsa. Mari belajar memaknai apa yang dirasakan masyarkat di sana. Catat Dirgahayu Republik Indonesia. “Terus Melaju untuk Indonesia Maju”.*

Berita Terkait