Dari situ, konflik antar kedua perusahaan ini mulai tidak terkendali hingga berujung pada putusan Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia, dan PT WKM dinyatakan secara hukum sah untuk mendapatkan IUP tersebut.
“Hal ini penting untuk disuarakan. Masyarakat Maluku Utara harus pertanyakan 90 ribu ton lebih ore nikel yang telah menjadi aset pemerintah itu. Karena dalam hitungan kami, kerugian pemerintah daerah dari penjualan ore nikel diperkirakan berkisar kurang lebih Rp 30 miliar,” ucapnya.
Bukan hanya masalah itu, KATAM juga mempertanyakan dana jaminan reklamasi selama empat tahun. Pasalnya, PT WKM dalam menjalankan aktivitasnya sejak tahun 2018 hingga 2022 terindikasi belum menyetor dana jaminan reklamasi selama 4 tahun.
“Dari hasil investigasi kami, Pemerintah Provinsi Maluku Utara lewat Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tahun 2018 telah menyetujui dan menetapkan dana jaminan reklamasi sebesar Rp 13.454.525.148,” tegasnya.
Muhlis menambahkan, hal tersebut juga tertuang dalam surat Pemerintah Provinsi Maluku Utara Nomor 340/5c./2018 perihal Penetapan Jaminan Reklamasi Tahap Operasi Produksi Tahun 2018-2022. Namun, faktanya, pihak PT WKM hanya melakukan sekali penyetoran, yakni pada tahun 2018 senilai Rp 124.120.000.
“Untuk itu, pemerintah penting untuk menagih dan menindak dengan tegas pihak PT WKM. Bilamana kewajiban tidak dipatuhi, sesuai dengan peraturan yang berlaku,” pungkasnya. Sekadar diketahui, ore yang disita negara itu totalnya sebanyak 300 ribu ton.(cr-02)
Jangan Ketinggalan Berita Fajar Malut di Channel WhatsApp.
(tekan disini untuk bergabung)
