TERNATE – Anggota Komisi III DPRD Kota Ternate, Nurlaela Syarif menyoroti persoalan pelayanan pendidikan di Kota Ternate dan Provinsi Maluku Utara.
Siswa SD, SMP maupun SMA di Kota Ternate dan Provinsi Maluku Utara masih sulit mendapatkan buku wajib pembelajaran di sekolah, seperti buku tematik dan lain-lain. Padahal, itu merupakan hak dasar dan wajib dimiliki siswa.
Nurlela mengemukakan, dari hasil observasi dan laporan yang ia terima, buku wajib pembelajaran yang seharusnya disediakan pihak sekolah sesuai rasio jumlah siswa, justru terbalik.
Siswa dipaksa harus membeli, bahkan di download atau di fotocopy. Ironisnya, sekolah juga mengarahkan siswanya untuk membeli buku pembelajaran tersebut dengan menunjuk distributor buku yang bekerjasama dengan pihak sekolah.
“Sangat menyedihkan, pantas saja index literasi Provinsi Maluku Utara selalu berada di peringkat terakhir keempat dari sejumlah provinsi. Padahal, di era sekarang ini sudah ada instrumen anggaran yang sudah cukup besar untuk alokasi pendidikan dan kesejahteraan tenaga pendidik,” kata dia
Untuk memperoleh buku wajib yang jelas-jelas ada anggaran BOS Reguler dari APBN, Bosda dari daerah, kata dia, faktanya tidak semua siswa bisa belajar pakai sendiri.
“Kasihan akhirnya orang tua harus keluarkan biaya beli buku dengan nilai yang variatif mulai dari 150 sampai 800 ribu rupiah,” katanya
Yang memprihatinkan, lanjut dia, adalah buku wajib atau tematik ini sulit juga didapatkan di toko buku, akhirnya anak-anak banyak yang tidak bisa belajar maksimal di sekolah dan di rumah.
“Siswa yang tak memiliki buku tematik akhirnya merengek meminta ke orang tuanya di rumah karena siswa wajib memiliki buku tematik. LKS seharusnya menjadi tanggung jawab sekolah,” ungkapnya.
Terkait hal itu, Nurlaela meminta Wali Kota Ternate harus tegas pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud), karena sesuai aturan perundangan, dana BOS reguler ada karena jumlah peserta didik.
“Dana tersebut untuk kebutuhan siswa di sekolah, bukan tambahan pendapatan kepala sekolah atau bendahara. Kami perlu sampaikan agar orang tua masyarakat dan pihak sekolah juga harus tahu bahwa dalam Juknis itu jelas,” tegasnya.
Adapun Pasal 20 dilarang sekolah menjadi distributor atau pengecer pembelian buku kepada Peserta Didik di sekolah yang bersangkutan, sementara Pasal Pasal 24 Dalam pengelolaan Dana BOS Reguler, Tim BOS provinsi, kabupaten/kota dilarang: a. melakukan pungutan dalam bentuk apapun kepada sekolah; b. melakukan pemaksaan pembelian barang dan/atau jasa dalam pemanfaatan Dana BOS Reguler; c. memengaruhi dan/atau memerintahkan sekolah untuk melakukan pelanggaran ketentuan penggunaan Dana BOS Reguler; d. menjadi distributor atau pengecer dalam proses pembelian, pengadaan buku, atau barang melalui Dana BOS Reguler” tegasnya.
Nurlela mengingatkan pihak sekolah jika masih melakukan praktek ini, di tahun ajaran 2022/2023 ia meminta kepala daerah, mulai dari Gubernur sampai Bupati dan Wali kota ikut memantau dan evaluasi pengelolaan Dana BOS Reguler sesuai dengan kewenangannya.
“Segera menginstruksikan Dinas Pendidikan untuk memberikan pembinaan dan sosialisasi melarang dengan keras dan tegas praktek penyimpangan tidak melakukan pengadaan buku sesuai anggaran BOS reguler dan membiarkan siswa secara mandiri membeli buku wajib pembelajaran kurikulum merdeka,” desaknya
Ia mengimbau semua pihak agar sama-sama melakukan pengawasan dan tidak takut melaporkan, jika masih ada sekolah yang tidak menyiapkan buku pembelajaran di sekolah dan mengarahkan siswa untuk membeli buku. ”Tolong laporkan ke kami,” pinta Nurlaela. (nas)
Jangan Ketinggalan Berita Fajar Malut di Channel WhatsApp.
(tekan disini untuk bergabung)