TERNATE – Mahkamah Agung Republik Indonesia diminta mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) terdakwa Muhammad Bimbi dalam kasus tindak pidana korupsi anggaran belanja tak terduga (BTT) tahun 2021 senilai Rp28 miliar di Pemerintahan Kabupaten Kepulauan Sula (Kepsul), Maluku Utara.
Permohonan peninjauan kembali itu dilakukan lantaran penasehat hukum Muhammad Bimbi merasa putusan yang dijatuhi kepada kliennya tidak berdasarkan fakta hukum, sehingga mereka menilai Majelis Hakim tidak mempelajari dokumen dan hanya mengutip pertimbangan Majelis Hakim tingkat banding.
Abdulah Ismail, penasehat hukum Muhammad Bimbi mengatakan, materi yang dimasukkan dalam permohonan peninjauan kembali kliennya Muhammad Bimbi selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) itu semua berdasarkan fakta persidangan yang telah terungkap, karena itu menjadi bukti penting yang dapat dipertimbangkan oleh Mahkamah Agung.
“Fakta hukum yang kita masukan itu terkait terdakwa tidak melakukan permintaan pembayaran kepada BPKAD Kepsul karena BMHP belum disediakan oleh penyedia, sekalipun administrasi berita acara serah terima barang, acara penerimaan barang, dan berita acara perhitungan barang telah disiapkan pada 11 November 2021 sebagai dokumen persyaratan pencairan kepada bendahara Dinas Kesehatan (Dinkes) Kepsul,” ucapnya, Kamis (30/10/25).
Kemudian, pencairan dilakukan oleh bendahara dengan menggunakan dokumen hasil review dari inspektorat dan surat permohonan pencaiaran dari Plt Kepala Dinkes Kepsul, yang mana hal tersebut bertentangan dengan aturan yang berlaku. Hal itu juga dikuatkan dengan pernyataan dari ahli LKPP bahwa hasil reviu bukanlah dokumen yang dapat digunakan sebagai syarat pencairan apalagi semua itu tanpa sepengetahuan terdakwa.
“Ahli dari LKPP menyatakan kalau terdakwa dapat menolak untuk melakukan pencairan apabila barang pengadaan belum disediakan oleh penyedia. Hal tersebut telah dilakukan oleh terdakwa, namun anggaran tetap dicairkan oleh BPKAD sekalipun dokumen tidak sesuai prosedur, dan hal ini tanpa campur tangan terdakwa, sehingga terdakwa tidak dapat dipersalahkan dalam pengadaan BMHP ini,” ujarnya.
Apalagi, surat keputusan terdakwa selaku PPK berakhir pada bulan Desember 2021 dan barang pengadaan belum diadakan hingga akhir Desember, sedangkan pencairan sudah dilakukan 100% oleh Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD). Fatalnya lagi penairan uang tersebut masih menggunakan cek yang ditandatangani oleh Plt Kepala Dinkes yang sudah tidak aktif.
“Barang pengadaan BMHP baru tiba pada bulan Februari 2022 atau telah melewati batas waktu sebagaimana surat pesanan yakni selama 60 hari kalender, dan Plt Kepala Dinkes (Suryati Abdullah) tetap menerima dan bendahara penerima barang (Andi) tidak membuat berita acara serah terima barang dan perhitungan barang,” sesalnya.
Lebih lanjut, berita acara serah terima barang (BAST) telah ditandatangani oleh 7 Kepala Puskesmas tersebut bukan saat penerimaan barang, tetapi setelah menerima BMHP saat Dinkes sedang mengadakan kegiatan. Para Kepala Puskesmas dipanggil oleh saksi Hasan La Jaonde untuk menandatangani BAST atas perintah Suryati Abdullah selaku Plt Kepala Dinkes. Dimana surat BAST itu telah ada tanda tangan Suryati Abdullah
“Perhitungan kerugian negara yang dilakukan oleh BPKP tidak menyeluruh atas semua pengadaan BMHP, sehingga hasil pemeriksaan dan perhitungan kerugian negara menjadi tidak pasti karena BPKP hanya menggunakan sampel berdasarkan BAST dari 7 puskesmas, bukan semua item pengadaan, harusnya mereka menyimpulkan kalau kerugian negara atas belanja BMHP senilai Rp5.000.000.000,” ujarnya.
Abdulah menyatakan, seharusnya dengan tidak ada barang pengadaan pada 6 Desember 2021 dan pembayaran yang dilakukan oleh bendahara Dinkes kepada penyedia pada 23 Desember 2021, maka telah terjadi kerugian negara pada saat itu juga, dan seharusnya BPKP menetapkan kerugian negara sebesar Rp5.000.000.000, bukan 1,6 miliar lebih.
“Fakta di persidangan bahwa perbuatan terdakwa membuat BAST perhitungan dan pemeriksaan bersama barang dan jasa pada 11 November 2021 tetapi ternyata tidak dilakukan dan tidak diterima di Kantor Dinkes Sanana, serta membuat hasil pekerjaan nomor 15/BAST/PPK/DINKES-KS/2021 pada 12 November 2021 seolah-olah terdakwa telah menerima hasil pekerjaan dari saksi Muhammad Yusri selaku Direktur PT. HAB Lautan Bangsa,” tuturnya.
“Kemudian tidak meminta kewajaran harga, tidak melakukan peneguran kepada PT. HAB Lautan Bangsa, dan adendum kontrak terdakwa bersama saksi Lasidi Leko berusaha agar laporan hasil review dari Inspektorat Kepsul ditandatangani untuk memperlancar proses pencairan yang dilakukan oleh terdakwa dengan maksud agar Muhammad Yusri memperoleh keuntungan adalah kekeliruan Majelis Hakim judex juris yang nyata,” tambahnya.
Selanjutnya, di dalam persidangan juga terkuak kalau terdakwa berniat untuk memperlancar proses pencairan maka dokumen seperti BAST perhitungan dan pemeriksaan bersama barang dan jasa pada 11 November 2021 dan BAST hasil pekerjaan nomor 15/BAST/PPK/DINKES-KS/2021 pada 12 November 2021 sudah dipergunakan untuk proses pencairan. Tetapi faktanya, pencairan dilakukan dengan menggunakan dokumen hasil review dan surat permohonan pencairan.
Bahkan, saat ditanya oleh Majelis Hakim di persidangan atas terdakwa Muhammad Yusril, Muhammad Bimbi menjawab dengan tegas kalau alasan kenapa tidak mengurus pencairan karena barang pengadaan BMHP belum tiba di Kepsul. Kemudian tuduhan kalau terdakwa Muhammad Bimbi tidak meminta dokumen kewajaran harga merupakan tuduhan yang tidak berdasar, oleh karena dalam daftar alat bukti Jaksa Penuntut Umum (JPU) nomor 43 terdapat dokumen Kewajaran Harga dari PT. HAB Lautan Bangsa.
“Ini menunjukkan kalau Majelis Hakim judex juris tidak mempelajari dokumen, sehingga hanya mengutip pertimbangan Majelis Hakim tingkat banding dan tidak berdasarkan fakta hukum yang sesungguhnya. Selain itu terkait adendum kontrak telah dijelaskan pada persidangan terdakwa Muhammad Yusri dari saksi ahli LKPP kalau pengadaan darurat apabila terjadi keterlambatan maka PPK berwenang menolak barang pengadaan yang diadakan oleh penyedia,” sesalnya.
Abdulah mengaku, hal ini juga telah dilakukan oleh terdakwa dengan cara tidak menerima barang pengadaan tersebut. Faktanya yang menerima barang pengadaan BMHP adalah Plt Kepala Dinkes Kepsul, yakni Suryati Abdullah yang telah memerintahkan saksi Andi sebagai bendahara penerima barang untuk menerima pengadaan BMHP, sehingga tuduhan kalau terdakwa bermaksud menguntungkan Muhammad Yusril adalah keliru.
“Sebagaimana fakta persidangan terdakwa telah berupaya untuk membongkar kejahatan yang secara terstruktur dan sistematis ini hingga menjadi sorotan, bukan hanya di Kepsul namun seluruh Maluku Utara mengikuti dan dimuat dalam setiap pemberitaan, baik cetak maupun online. Dan oleh karena perkara ini sudah menjadi perhatian publik sehingga Majelis Hakim Tingkat Pertama menyematkan Terdakwa sebagai Justice Collabolators,” akunya.
Abdulah menambahkan, dengan demikian penjatuhan hukuman ini dinilai belum mencerminkan rasa keadilan kepada terdakwa yang telah berupaya membongkar peran dari pihak-pihak lain dan telah berupaya untuk menyelamatkan keuangan negara dengan cara tidak menyerahkan dokumen yang berkaitan dengan pencairan, serta tidak menerima barang pengadaan yang terlambat datang di Kepsul.
Akibat dari perlawanan yang dilakukan hingga saat ini, sehingga menyebabkan keluarga terdakwa harus menanggung penderitaan akibat dari kejujuran terdakwa dalam membongkar tabir kejahatan. Ini yang sudah menjadi viral di semua platform media massa.
“Perjuangan ini akan sia-sia apabila terdakwa tidak mendapatkan keadilan dalam perkara ini, hanya ditangan Majelis Hakim Yang Mulia, terdakwa dan keluarga bergantung, demi tegaknya supremasi hukum di negeri ini tanpa pandang bulu. Selama langit belum runtuh kami meyakini kalau keadilan masih bisa tetap ditegakkan,” pungkasnya.(cr-02)
Jangan Ketinggalan Berita Fajar Malut di Channel WhatsApp.
(tekan disini untuk bergabung)

