Babak Baru Kasus Galian C Ilegal di Kota Ternate

TERNATE – Dugaan kerusakan lingkungan akibat ekplorasi para penambang galian C pada sejumlah titik di Kota Ternate memasuki babak baru. Jika sebelumnya banyak pengamat merespon kasus tersebut dari sisi perizinan, lingkungan hingga geologi. Kali ini, Ketua Komisi II DPRD Kota Ternate, Mubin A. Wahid mempersilahkan kepolisian daerah setempat untuk mendalami dugaan kasus tersebut. Menurut Mubin, dugaan pelanggaran dalam kasus ini tidak hanya menyasar pemilik usaha yang menyalahgunakan izin usahanya. Tetapi kasus ini juga bisa menyeret Pemerintah Kota (Pemkot) karena membiarkan para penambang merusak lingkungan.

Ia menegaskan, baik rekanan maupun pemerintah terancam hukuman pidana.    Dijelaskan, sejak keluarnya Undang-Undang (UU) nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Kewenangan mengeluarkan izin usaha pertambangan sudah diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Maluku Utara (Malut). Itu sebabnya, semua pelaku usaha tambang galian C yang ada di Ternate harus mengurus Ijin Usaha Pertambangan (IUP) di Provinsi Malut. “Timbul permasalahan sekarang, kenapa mereka tidak urus, tidak urus itu apakah karena Perda di Provinsi Malut tidak ada, ataukah sudah ada tapi tidak diurus,” tanya Mubin. Jika tidak ada IUP yang dikeluarkan Provinsi Malut, maka Pemerintah Kota (Pemkot) Ternate harus menghentikan seluruh tambang illegal tersebut.

“Karena tidak ada aturan yang mengatur tentang itu, solusi pemerintah, mereka segera mengurus ke Pemprov Malut, kalau mereka tidak mengurus maka Pemkot harus melarang secara tegas. Kenapa? Karena objek dan subjek semua ada di Kota Ternate, mulai galian C, dampaknya, lingkunganya, sampai ke tingkat subjeknya, orang-orangnya memiliki dampak yang besar, sehingga Pemerintah Kota Ternate tidak boleh main-main,” tegasnya. Terhadap praktek yang illegal dan tidak diawasi oleh pemerintah tersebut, kata Mubin, bertentangan dengan UU nomor 4 Tahun 2009. Karena di dalam pasal 158 menegaskan setiap orang yang melakukan usaha pertambangan tanpa Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagaimana dimaksud pada pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10  tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000. Mubin juga menegaskan, pemerintah saat ini terkesan tidak konsisten menjalankan aturan, malah melakukan kejahatan lingkungan tersebut. “Bahkan, mereka turut melakukan tindak pidana itu, bukan cuma sekedar persoalan perdata, atau administrasi saja. Ini sudah masuk rana pidana, apalagi sudah ada perusakan lingkungan, itu yang jadi masalah,” kesalnya. Dia menegaskan, apabila izin yang dikeluarkan itu hanya sebatas pemerataan tanah, kemudian di lapangan ada material dikomersialkan. Maka itu jelas perbuatan melanggar hukum.

“Siapa yang melakukan, yang melakukan itu pihak perusahaan maupun pihak pemerintah daerah yang mengeluarkan izin itu ikut kena juga, apalagi ini terkait dengan oknum, jangan-jangan oknum itu terlibat di dalamnya,” tegasnya. Kata dia, semestinya pemerintah taat terhadap rekomendasi yang dikeluarkan Komisi III, yakni menghentikan aktivitas para penambang illegal sambil menunggu hasil kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). “Rekomendasi Komisi III untuk menutup itu harus, harus ditutup karena dampaknya luar biasa, tapi kalau terus beroperasi, maka pemerintah melakukan kelalaian besar,” tegasnya.

Utuk itu komisi II meminta pemerintah melalui dinas terkait agar mempertanggungjawabkan perbuata tersebut, karena faktanya, ada lingkungan yang rusak. “Saya khawatir ada indikasi pidana, mereka main di sana, masa orang meratakan tanah saja sampai gunung dibongkar? Hari ini mungkin belum, tapi satu kali saat terjadi bencana baru kita semua kaget, jadi pemerintah harus bertanggungjawab terkait pengelolaan pertambangan, khususnya galian C yang selama ini tidak pernah tuntas,” terangnya. Sementara di dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) menurut UU nomor 32 tahun 2009, pasal 1 ayat (2) menegaskan, upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum. “Mereka salah gunakan izin itu sudah masuk perbuatan pidana, karena sudah merusak lingkungan yang begitu hebat tanpa ada izin dari pemerintah, ini bisa saja polisi melakukan proses, kalau ada indikasi pidana, jaksa bisa langsung masuk,” tegasnya. Namun apabila kesemerawutan dan ketimpangan di sector pertambangan selama ini disebabkan karena pemerintah yang terkesan melakukan pembiaran, atau turut melakukan, atau menyuruh untuk dilakukan, maka perbuatan tersebut memenuhi unsur pada pasal 55 KUHP.

Mubin menegaskan, dihari terakhir pengurusan IUP yang jatuh pada (11/2) kemarin, sebagaimana rekomendasi dalam rapat dengar pendapat (RDP) antara DPRD dan pemerintah serta rekanan (pemilik galian C) beberapa hari lalu, tidak juga digubris. Maka Pemerintah harus menghentikan aktivitas tambang tersebut. “Itu sah demi hukum,” tegasnya. (nas)

Berita Terkait

Berikan Komentar pada "Babak Baru Kasus Galian C Ilegal di Kota Ternate"

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*