Penghapusan Honorer dan Dilema Kepala Daerah

Ilustrasi Honorer
Ilustrasi Honorer

Nasib  tenaga honorer  seluruh instansi pemerintah, mulai pusat hingga daerah tinggal menunggu waktu. Ini setelah Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menteri PANRB) menerbitkan Surat Nomor B/185/M.SM.02.03/2022 tertanggal 31 Mei 2021 tentang Status Kepegawaian di lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Surat yang diteken Menteri PANRB Tjahjo Kumolo itu menegaskan, pada 28 November tahun 2023 ini, semua instansi pemerintah bersih dari tenaga honorer. Itu artinya, jika dihitung-hitung, masa pengabdian tenaga honorer berakhir sekitar setahun lagi.

Pemerintah menargetkan, di tahun 2023 nanti,  tidak satupun tenaga honorer tersisa di semua instansi pemerintah di seluruh penjuru negeri ini. Wacana penghapusan ini tentunya berdampak luas hingga ke daerah, termasuk 10 daerah kabupaten/kota maupun Pemerintah Daerah Provinsi Maluku Utara.

Selain memperpanjang daftar pengangguran, juga dampak-dampak lainnya karena ribuan orang diberhentikan dalam waktu serentak.  Ditambah lagi ketersediaan lapangan pekerjaan yang minim.

Berdasarkan data dari Kemenpan-RB secara keseluruhan per Juni 2021 sebanyak 410.010 orang honorer kategori II. Diantaranya, 123.502 orang tenaga pendidik, 4.782 orang tenaga kesehatan, 2.333 orang tenaga penyuluh, dan 279.393 orang tenaga administrasi. Jumlah itu di dalamnya termasuk pemerintah daerah kabupaten/kota dan Pemerintah Daerah Provinsi Malut.

Baca juga:  Bangga Jadi Anggota Paskibraka, Terharu dan Senang Dapat Bonus Dari Bupati

Para kepala daerah pun ikut dilematis jika kebijakan ini benar-benar diberlakukan. Apalagi, tenaga honorer yang memiliki kompetensi selalu menjadi andalan, baik soal urusan administrasi maupun teknis di bidang mereka masing-masing.

Tak cukup kompetensinya diandalkan, keberadaan tenaga honorer juga dijadikan sebagai salah satu elemen potensial bagi kepala-kepala daerah sebagai ‘komoditas politik’ dalam setiap tahun politik. Terlebih bagi kepala daerah yang punya keinginan kuat untuk kembali mencalonkan diri pada pemilihan kepala daerah di tahun 2024 mendatang, walau dalam aturan pemilu tidak dibenarkan.

Dengan jumlah ribuan orang, tentunya para kepala daerah tidak rela tenaga honorer hilang dari ‘genggaman mereka’. Apalagi, durasi waktu pemberhentian dengan pilkada serentak yang dijadwalkan 2024 itu cukup singkat, sehingga sangat sulit untuk dikendalikan .

Kendati sudah ada sinyal kuat penghapusan tenaga honorer, sebagian kepala daerah masih menunggu regulasi yang lebih tinggi dengan alasan surat Menteri PANRB per 31 Mei 2022 sifatnya hanya himbauan.

Baca juga:  Mendagri Sebut Honorer Titipan Timses Sampai Keluarga Pejabat Bebani Anggaran

Padahal di tahun 2018, Pemerintah Pusat telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 tahun 2018 tentang Manajemen PPPK yang diundangkan pada 28 November 2018. Pasal 99 ayat 1,  PP tersebut  berlaku terhitung 5 tahun sejak diundangkan.

Pasal 99 ayat 1 itu berbunyi; “Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Pegawai non-PNS yang bertugas pada instansi pemerintah termasuk pegawai yang bertugas pada lembaga non struktural, instansi pemerintah yang menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum/badan layanan umum daerah, lembaga penyiaran publik, dan perguruan tinggi negeri baru berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2016 tentang Dosen dan Tenaga Kependidikan pada Perguruan Tinggi Negeri Baru sebelum diundangkannya Peraturan Pemerintah ini, masih tetap melaksanakan tugas paling lama 5 (lima) tahun,”.

Dengan demikian, tahun 2023 yang diakui status kepegawaiannya hanya PNS dan PPPK. Untuk itu, instansi pemerintah baik kementerian/lembaga maupun pemerintah sudah harus memikirkan solusinya. Meski bagi sebagian orang, keputusan itu tidak akan diambil pemerintah karena ada dampak secara politik, namun hemat penulis, besar kemungkinan akan diterapkan, di tengah semangat Presiden Jokowi untuk melakukan penataan dan reformasi birokrasi.

Baca juga:  28 November 2023 Honorer Resmi Dihapus

Apalagi setiap tahun Negara dibebankan dengan pembiayaan untuk belanja pegawai yang mencapai ratusan triliun, sehingga sebagian besar dana alokasi umum (DAU) membayar gaji pegawai, termasuk honorer.

Setidaknya Negara bisa berhemat, sehingga sebagian alokasi anggaran tersebut dimanfaatkan untuk kebutuhan lain yang dianggap urgen.  Kendati bagi instansi yang tidak menjalankan keputusan itu dikenakan sanksi, namun Kemenpan-RB juga memberikan dispensasi jika instansi pemerintah masih menggunakan jasa honorer, maka harus melalui jalur outsourcing.

Jika keputusan ini diambil oleh seluruh Pejabat Pembina Kepegawaian nanti, maka sudah seharusnya dibahas dan dibuatkan perencanaan. Beranikah Pemerintah Daerah mengambil langkah penghapusan honorer?. Ataukah masih mengkalkulasi plus-minus-nya. Kuncinya, Pemda dan DPRD duduk bersama mencari solusi dan alternatif-alternatif lain terhadap nasib para tenaga honorer.

Penulis : Hasyim Ilyas

error: Content is protected !!