Hiri-Batang Dua Belum “Merdeka”

Akses yang dilalui warga Hiri

Oleh : Sandin AR Jurnalis Fajar Malut

Ritual penuh kesakraalan 17 Agustus kemarin itu, tak hanya soal pengibaran sang saka merah putih, pembacaan teks proklamasi kemerdekaan maupun merunungkan pejuang pendahulu.

Seraya berharap, bangsa besar ini terutama para elit kita  menjadikan pelajaran paling berarti. Mengisi atau menggantikan kemerdakan itu dengan membangun spirit  memerangi kesusahan rakyat. Djokroaminoto, Mohammad Yamin, Haji Agus Salim, Ki Bagus Hadikusumo, Jenderal Sudirman, Muhammad Hatta, Soekarno, dan lain sebagainya  merupakan sederat pejuang-pejuang pembebasan penjajahan yang mampu mengangkat harkat mertabat bangsa Indonesia untuk bangkit sebagai bangsa yang merdeka.

Lewat perjuangan mereka, usia kemerdekan telah memasuki 75  tahun. Usia cukup matang dan seribu langkah harus maju kedepan. Sayangnya sering kali terjadi lahan petani terus tergusur, dikapling, diklaim oleh perusahan atas izin Negera. Nelayan biasanya menjaring ikan sebanyak-banyaknya namun dampak pembangunan reklamasi pantai disana-sini, Ikan telah kabur ke laut lepas. Pembangunan timpang dan tidak merata hanya terfokus pada wilayah tertentu.

Penyakit korupsi di berbagai lembaga pemerintah terus merajalela, terstruktur, sistimatis, dan masif. Kasus narkoba menyerang  anak muda karena depresi dengan kehidupan ekonomi. Dunia pendidikan hanya dinikmati orang berduit, sementara rakyat biasa terbabani dengam model pendidikan virtual saat ini.  

Baca juga:  Mengajar Dengan Hati

Presiden pertama, Soekarno pernah memberi warning atau setidaknya mengingatkan bangsa ini ,“Aku lebih mudah mengusir kaum penjajah dari tanah airku dari pada bangsaku sendiri, lebih berat mengusir kaum penjajah karena dijajah oleh bangsanya sendiri,”. Pernyataan  ini  patut diresapi sedalam-dalamnya. Siapa kaum penjajah saat ini, kapan proses penjajah itu dilakukan dan bagaimana sesungguhnya kemerdakaan mendapatkan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, sarana pembangunan memadai, perlindungan hukum, serta hak-hak berpolitik bagi rakyat.

Tengok saja pembangunan yang menimpah rakyat Pulau Hiri  dan Pulau Batang Dua. Dua pulau ini dihuni penduduk masing-masing sekitar ribuan jiwa manusia itu dibawa bayang-bayang  pemerintah Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara. Sejak bertahun-tahun kebutuhan sarana infrastruktur bagi rakyat di dua pulau mungil itu terabaikan. 

Pulau Hiri misalkan, sejak Tahun 2015 dijanjikan pembangunan pelabuhan penyebarangan Hiri ke Sulamadaha Kota Ternate tak sesuai keinginan atau cultur rakyat.  Tak kunjung teralisasi hanya janji tinggal janji. Meski terdapat pelabuhan Jikomalamo, sejak direncakan sebagai pelabuhan utama ternyata diduga  dibalik itu hanya konspirasi belaka antara pemodal dengan pemerintah untuk mengejar pendapatan, profit, atau keuntungan karena beralih fungsi objek wisata bukan kepentingan rakyat Hiri. 

Sekali lagi bukan kepentingan rakyat Hiri tentang pelabuhan di Jikomalamo itu dibangun. Bukan hanya pelabuhan sebagai kebutuhan dasar manusia namun banyak problem lainya berulang kali disuarakan melalui aksi demonstrasi  oleh  pemuda dan rakyat Hiri kepada pemerintah Kota Ternate. Menyangkut anggaran pembangunan pelabuhan pulau Hiri  tahun 2020, pembangunan kantor KUA Kecamatan Pulau Hiri, pembangunan pagar pembatas jalan, syahbandar perhubungan Sulamadaha-pulau Hiri, UPTD pendidikan pulau Hiri,  aktifkan pasar Pulau Hiri, Pemerataan air bersih  maupun menyangkut tenaga pengajar perlu diperhatikan  oleh pemerintah Kota Ternate.

Baca juga:  Sedekah Air Hujan Antarkan Zulkifli Raih Penghargaan Kalpataru 2022

Sejumlah persoalan ini jauh dari harapan untuk dinikmati.  Mirisnya, ditengah suasana memperingati kemerdekaan 17 Agsutus lalu salah satu tokoh pemuda pulau Hiri Wawan Ilyas memposting sebuah foto beberapa rakyat Hiri  yang hendak ke pulau itu harus menggulung celana dari ancaman air laut dan mendorong sepeda motor diatas bebantuan. Ini karena mirisnya tidak ada pelabuhan sejak puluhan tahun hingga saat ini. “Seandainya, seandainya, seandainya, air laut bisa bikin kaki bakarat (berkerat) maka mudah sekali mengidentifikasi orang Hiri. Paham to???,”  tulis Wawan penuh kritik melalui media sosialnya. Bahkan dirinya menegaskan.  “Pelabauhan Pulau Hiri itu Komoditi Pilwako (Pemilihan Walikota),” tegasnya.

Persoalan rakyat Pulau Hiri sama halnya dengan rakyat di Batang Dua. Akselerasi pembangunan di Palau tersebut lebih terabaikan.  Pembangunan jalan lingkar, akses jaringan internet, jembatan laut, fasilitas kesehatan serta pendidikan minim dirasahkan. Parahnya Pemerintah Kota Ternate melalui Dinas Pelabuhan diduga kuat melakukan praktek yang tidak manusiawai. Yakni  masalah pungutan liar di jalur peryebrangan laut Ternate Batang dua melalui pelabuhan Ahmad Yani Kota Ternate. Persoalan ini bahkan dikecam keras  pemuda dan mahasiswa Batang Dua yang tergabung dalam kelompok cipayung plus saat  berdemonstrasi di gedung DPRD Kota Ternate beberapa waktu lalu.   

Baca juga:  Garuda Hinggap di Tobelo

Prisnipnya kemerdekaan bagi rakyat soal kesejahtaran hidup. Pembangunan harus yang merata.  Rakyat harus lepas dari penjara kesusahan. Karena ini menyangkut soal hajat hidup manusia dan kemanusian. Karena itu, cacatan sederhana ini sekadar refleksi serta ingin menegaskan kemerdekaan 17 Agustus itu tak sekedar terjebak pada hal-hal seremoni.

Tema Indonesia Maju seharusnya dibuktikan, para pimpin kita terutama penguasa di daerah ini dengan kerja-kerja nyata bukan hanya kerja memoles citra apalagi menghadapi momentum pilkada 2021 serta pendemi covid-19 yang belum berakhir ini. Rakyat makin susah dihadapkan wabah yang mengerikan ini disaat menjangkau kebutuhan isi perut mereka.  Semoga  saja Rakyat Hiri dan Batang Dua dapat meraih hak-hak kemerdekaan mereka.  (*)

error: Content is protected !!